Jumat, 23 Februari 2018

In Love with Wall


Dari dulu sebenarnya Saya tidak pernah suka kalau harus diving di wall, lebih tepatnya ada rasa khawatir, takut dan entahlah kadang sebisa mungkin Saya cari cara menghindar. Mungkin karena kontur dasarnya yang tidak berujung dan khawatir ada arus yang kencang saat diving. Tapi kenyataannya, setelah tiba di Morotai, mencicipi diving di berbagai lokasi dengan tipe kontur dasar yang berbeda. Saya ternyata jatuh cinta dengan wall dive.
Selain (menurut Saya) coralnya lebih indah, visibility atau jarak pandangnya juga lebih luas, dan lama kelamaan saya jadi ketagian menyelam lebih dalam. Deep dive berkisar 25-40 meter di bawah permukaan air laut rasanya lebih seru untuk dilakukan ketimbang diving di spot yang memiliki kontur dasar datar atau flat.
Rasanya ada sensasi tersendiri saat diving semakin dalam, cahaya matahari yang berhasil masuk ke dalam kolom air semakin redup, suasana semakin tenang, suhu air sedikit bertambah dingin, hanya ditemani suara tarikan nafas kita melalui mouthpiece menuju tabung oksigen. Disusul suara gelembung-gelembung CO2 yang dibuang ke perairan. Sesekali menengok dan mengecek apakah buddy Saya dalam keadaan baik ataukah ada masalah? (yang tentunya tidak kita inginkan).
Semakin cepat turun, rasanya hati semakin terpuaskan. Sambil mengecek deep gouge untuk melihat batas kedalaman. Orientasi daerah tempat kita turun, karena pastinya kita tidak ingin sampai menabrak karang. Kasihan, bisa terganggu atau bahkan sampai mati. Rutin menyesuaikan tekanan udara di dalam rongga telinga seiring bertambahnya kedalaman kita. Istilahnya dalam diving disebut dengan Equalize.
Walaupun semakin dalam Saya diving, semakin sebentar waktu yang boleh Saya habiskan disana. Hal ini sudah ditentukan dan ada aturan mainnya sesuai peraturan dasar scuba diving. Tapi Saya tetap suka. Berfoto sebentar (kalau ada kamera yess), lalu mulai perlahan naik menuju permukaan. Sambil (sok) asik mengamati ikan-ikan yang bersembunyi di balik terumbu karang. Kadang ikan-ikan yang berkamuflase dengan substrat dasar juga asik untuk dipehatikan.
Ada satu spot di daerah Jaubella, yang sebenarnya tidak punya coral yang cantik dan ciamik seperti dive spot lainnya. Malah berkesan lebih gelap dan agak horor. Dengan bentuk lekukan wall nya yang cukup dalam, untuk Saya rasanya seperti masuk dalam film-film arkeologi atau film dokumenter. Waktu itu kita dalam rangka mencari bangkai kapal atau pesawat peninggalan perang dunia 2, ataupun sekedar mencari puing-puing dan peluru bekas perang. Meskipun akhirnya tidak membuahkan hasil, diakhir penyelaman kita menemukan spons yang sangat besar. Dengan tinggi berkisar 1,5 meter dan lebar 1 meter.

By the way, the most important thing is… safety first. Mau seberapa dalam pun menyelam, keselamatan tetap yang paling utama. Mulai dari briefing, doa sebelum menyelam, peralatan yang memadai, mengikuti standar penyelaman yang ditentukan, kondisi tubuh yang sehat, dan jangan lupa safety stop yhaa. See you on my next dive diary.

note : by the way, foto menyusul :)