Senin, 02 April 2018

A Story from Tobelo


My two days and one night in Tobelo, North Halmahera . Bermodal Rp 105.000 untuk mendapatkan tiket speedboat, tujuan Daruba-Tobelo dengan waktu tempuh 1,2 sampai 2 jam. Jam 8 pagi speedboat pertama sudah melaju menuju Tobelo, dan speedboat kedua menunggu sedang penumpangnya penuh.

Tidak butuh waktu lama, speedboat kedua siap berangkat. Saya duduk di bangku paling depan sebelah kanan pagi itu, dekat dengan sang motoris, suasana di dalam kapal penuh dengan penumpang dan barang bawaannya. Cipratan air laut yang masuk ke dalam kapal melalui jendela-jendela kecil memaksa penumpang menutup jendela, menciptakan hawa panas. Melaju sekitar 20 menit di tengah laut, separuh penumpang sudah mulai terlelap dalam tidurnya. Menikmati bangku dengan busanya yang tipis, dan goncangan kapal oleh pukulan ombak. Tidak terkecuali Saya sendiri tentunya.

Sesampainya di Tobelo Saya dijemput oleh teman Saya dari Shark Diving, Kak Rika namanya. Langsung saja Saya diantarkan menjalankan misi mencari kacamata baru, karena kacamata Saya patah. Lalu kami pergi makan siang di kosannya yang cozy, istirahat siang dan kemudian Saya diajaknya jalan-jalan menuju Galela. Daerah di sebelah utara kota Tobelo, cukup jauh kami berkendara, selain itu hawanya dingin seperti sedang di kota Magelang.

Saya diajak mampir ke tiga tempat yang super cantik, pertama ke tempat Kak Rika sering camping di pinggir pantai, lokasi uderwater vulcano dekat Tanjung Bongo, dan terakhir Danau Duma.

Tempat camping Kak Rika ini berada dekat dengan tempat wisata pantai di Galela, hanya saja untuk mencapainya perlu berbelok ke arah timur sedikit saat memasuki kawasan wisata tersebut. Dari sini juga dia biasa menikmati pagi sambil memandang sekelompok lumba-lumba yang berenang dekat pantai.

Me and Kak Rika in her camping ground, di tepi pantai.
Selanjutnya kami melaju lebih jauh menuju Galela, di tengah jalan kami berbelok ke arah laut disebelah kanan jalan. Ternyata dari sini Saya bisa melihat dive spot milik Shark Diving, underwater vulcano.
Me on frame, taken by Kak Rika.
view from pinggir pulau yang penuh ilalang.
Menjelang sore, matahari mulai bergerak ke arah barat, sebelum matahari terbenam kami sudah harus sampai di pinggir danau untuk menunggu sunset, berfoto-foto sambil bersantap malam. Danau Duma saat itu penuh dengan eceng gondok yang sedang mekar bunganya, pemandangan hijau dan bunga-bunga ungu terhampar dari tepi sampai tengah danau. Ada beberapa rumah makan yang berjejer di tepi danau waktu Saya berkunjung kesana, suasananya agak sepi, mungkin karena bukan hari libur. Tapi terlepas dari itu Kami jadi bisa menikmati pemandangan dan makanan dengan lebih leluasa hhaha.

tempat makan di pinggir Danau Duma
pemandangan dari tepi danau
By the way makanannya enak sekalii, ada pisang goreng mulut bebek dengan bentuknya yang ramping, rasanya gurih-gurih manis, dan dabu-dabunya bikin lupa diri. Belum juga ikan bakar Kami makan, Saya sudah kenyang duluan karena pisang goreng. Tapi nasi putih, ikan bakar, sayur kangkung, dabu-dabu mantah, dan es teh manis tidak bisa dilewatkan begitu saja. Eitss Kita juga ditemani mangga super manis dengan seratnya yang menggoda, Saya lupa namanya. Tapi seratnya banyak sekali, dan sangking manisnya sampai mau mabuk rasanya.

menu santap malam di pinggir danau
bonus, favorit view saat sunset and dinner time.
Well sepertinya itu semua cukup untuk menutup hari Saya sebagai liburan singkat yang menyenangkan. See you next time Kak Rika and Tobelo, thankyou soo much J

Minggu, 11 Maret 2018

What I Feel When Do Night Diving

Ada satu hal menarik yang akan jadi kegiatan rutin Saya selama tiga bulan terakhir di Morotai, Night Diving. Dulu saya paling takut dengan yang namanya night diving. Diving di malam hari, gelap gulita, dingin, dan ada rasa ketakutan akan bersenggolan dengan karang atau hewan-hewan karang lain yang mungkin saja membahayakan (atau mungkin Saya yang berbahaya bagi mereka?). Tidak memiliki masker selam dengan lensa minus mungkin menjadi alasan utama Saya takut untuk diving di malam hari. But, heyy... Semua Berubah ! hahha

Sepertinya semua berubah semenjak di Morotai Saya dapat masker selam dengan lensa minus, and luckly lensanya sesuai dengan minus mata Saya. Itulah mungkin suka duka orang dengan mata minus huhuhu.. hehe curhat sedikit. Jadi ketakutan menyelam dekat dengan karang muncul karena adanya keterbatasan jarak pandang, soo ketika saya sudah bisa melihat dengan baik saat menyelam, Saya akhirnya penasaran dan ketagihan untuk diving di malam hari. Sebenarnya bukan ketagihan sih, tapi ada tugas dari owner dive center untuk melakukan night dive. Pliss help me with your doa, supaya selama Saya berkegiatan di Morotai bisa lancar sentosa.


Pertama kalinya Saya diving malam itu pada bulan Januari 2018 bersama teman baru Saya, namanya Ratih. Sebenarnya Ratih ini teman SMA dari teman Saya di kampus, kita baru kenal sejak di Morotai dan yaauda ayok kita diving! Bertempat di Wawama, bersebelahan dengan Paix Coffee (bukan promosi) Saya, Ratih, Datuk, Ko Biman, Rama, dan Buyung dalam satu grup malam itu. Kita sudah bersiap-siap diving sejak jam 6 sore. Setelah magrib kita langsung meluncur masuk kedalam air, shore entry sekitar 50 meter, masing-masing penyelam sudah membawa dan menyalahkan senternya, kemudian mulai menenggelamkan diri masuk dalam lautan yang gelap.

Menyelam pada kedalaman maksimal 10 meter, dingin, gelap, tidak ada suara selain suara tarikan nafas dan gelembung-gelembung yang muncul dari sisa nafas penyelam. Sinar-sinar kecil dari senter penyelam yang muncul dalam gelap, berjarak sekitar 1-2 meter dari Saya. Suasana hening dalam gelap, suara gelembung yang samar-samar terdengar menemani selama penyelaman, sinar senter yang terlihat sibuk mengarah ke permukaan karang, mencari si cantik and iconic Walking Shark. Mungkin itu beberapa moment yang paling teringat pada penyelaman malam pertama Saya.

Selain itu Saya juga baru memahami cara mengaplikasikan hand signal saat menyelam malam, melihat ikan-ikan tidur, ada telur cumi-cumi yang mengambang di perairan, plankton yang menyala dan berenang bebas, ada juga dua penyu yang sempat menyapa kita. Namun sayang beribu sayang, malam itu kami belum berhasil bertemu dengan walking shark itu. Memang dasarnya saya orang yang nerimaan (alias mirip-mirip dengan kata pasrah) yaudalah it’s oke belum waktunya bertemu  dengan walking shark ini. And hoppefully i will meet the walking shark on my next night diving,  see you.

Thankyou for read my blog... Kalo kata orang-orang, salam gelembung !

Jumat, 23 Februari 2018

In Love with Wall


Dari dulu sebenarnya Saya tidak pernah suka kalau harus diving di wall, lebih tepatnya ada rasa khawatir, takut dan entahlah kadang sebisa mungkin Saya cari cara menghindar. Mungkin karena kontur dasarnya yang tidak berujung dan khawatir ada arus yang kencang saat diving. Tapi kenyataannya, setelah tiba di Morotai, mencicipi diving di berbagai lokasi dengan tipe kontur dasar yang berbeda. Saya ternyata jatuh cinta dengan wall dive.
Selain (menurut Saya) coralnya lebih indah, visibility atau jarak pandangnya juga lebih luas, dan lama kelamaan saya jadi ketagian menyelam lebih dalam. Deep dive berkisar 25-40 meter di bawah permukaan air laut rasanya lebih seru untuk dilakukan ketimbang diving di spot yang memiliki kontur dasar datar atau flat.
Rasanya ada sensasi tersendiri saat diving semakin dalam, cahaya matahari yang berhasil masuk ke dalam kolom air semakin redup, suasana semakin tenang, suhu air sedikit bertambah dingin, hanya ditemani suara tarikan nafas kita melalui mouthpiece menuju tabung oksigen. Disusul suara gelembung-gelembung CO2 yang dibuang ke perairan. Sesekali menengok dan mengecek apakah buddy Saya dalam keadaan baik ataukah ada masalah? (yang tentunya tidak kita inginkan).
Semakin cepat turun, rasanya hati semakin terpuaskan. Sambil mengecek deep gouge untuk melihat batas kedalaman. Orientasi daerah tempat kita turun, karena pastinya kita tidak ingin sampai menabrak karang. Kasihan, bisa terganggu atau bahkan sampai mati. Rutin menyesuaikan tekanan udara di dalam rongga telinga seiring bertambahnya kedalaman kita. Istilahnya dalam diving disebut dengan Equalize.
Walaupun semakin dalam Saya diving, semakin sebentar waktu yang boleh Saya habiskan disana. Hal ini sudah ditentukan dan ada aturan mainnya sesuai peraturan dasar scuba diving. Tapi Saya tetap suka. Berfoto sebentar (kalau ada kamera yess), lalu mulai perlahan naik menuju permukaan. Sambil (sok) asik mengamati ikan-ikan yang bersembunyi di balik terumbu karang. Kadang ikan-ikan yang berkamuflase dengan substrat dasar juga asik untuk dipehatikan.
Ada satu spot di daerah Jaubella, yang sebenarnya tidak punya coral yang cantik dan ciamik seperti dive spot lainnya. Malah berkesan lebih gelap dan agak horor. Dengan bentuk lekukan wall nya yang cukup dalam, untuk Saya rasanya seperti masuk dalam film-film arkeologi atau film dokumenter. Waktu itu kita dalam rangka mencari bangkai kapal atau pesawat peninggalan perang dunia 2, ataupun sekedar mencari puing-puing dan peluru bekas perang. Meskipun akhirnya tidak membuahkan hasil, diakhir penyelaman kita menemukan spons yang sangat besar. Dengan tinggi berkisar 1,5 meter dan lebar 1 meter.

By the way, the most important thing is… safety first. Mau seberapa dalam pun menyelam, keselamatan tetap yang paling utama. Mulai dari briefing, doa sebelum menyelam, peralatan yang memadai, mengikuti standar penyelaman yang ditentukan, kondisi tubuh yang sehat, dan jangan lupa safety stop yhaa. See you on my next dive diary.

note : by the way, foto menyusul :) 

Selasa, 09 Januari 2018

Diving With Sharks

shark feeder use shark armor, and the sharks swimming around divers

Bukan kali pertama menyelam bersama hiu, karena beberapa diving selumnya saya juga sudah bertemu dengan hiu. Tapi yang satu ini berbeda, this site named Blacktip Point. Yapp lokasi khusus di Pulau Matita, Morotai yang menjadi andalan Shark Diving Indonesia untuk menyelam dengan hiu yang ramah dan bersahabat. Bukan di dalam penangkaran hiu, tapi langsung di habitat aslinya.
Hiu yang pasti kita temukan berenang dekat dengan penyelam adalah blacktip shark, hiu dengan ukuran panjang sekitar 1 - 2 meter, dan memiliki corak hitam di ujung siripnya sebagai ciri khusus hiu jenis ini. Bertemu dengan 20 ekor lebih hiu yang berenang dengan jarak sangat dekat disekitar tubuh anda ternyata adalah hal yang biasa di Morotai, mungkin jarak terjauh dari tubuh saya hanya beberapa puluh centimeter saja, padahal untuk saya ini adalah hal yang super-super baru dalam hidup saya selama 22 tahun ini.
Saat menyelam di blacktip point kita akan coba mencari perhatian dari hiu dengan cara memberikan umpan makanan, yapp feeding sharks. Ikan cakalang menjadi pilihan utama sebagai umpan untuk hiu, dengan jumlah yang secukupnya agar tidak mengganggu kebiasaan alami hiu untuk berburu. Pemberian umpan dilakukan oleh dive leader yang sudah menggunakan pakaian khusus untuk feeding shark, it’s named Shark Armor. Baju besi bertekstur anyaman seperti seorang prajurit perang, yang pastinya memberi keamanan kepada si shark feeder. Bukan karena hiu itu jahat, tapi sebagai bentuk standar keamanan.
Umpan ikan yang sudah dipotong-potong besar siap diberikan kepada para hiu yang berenang disekitar penyelam, berada pada kedalaman 20 meter di bawah air dan dengan cahaya matahari secukupnya yang masih sanggup masuk ke badan air. Hiu-hiu ini mungkin mencium bau darah dari umpan ikan yang kami bawa, tapi heyy ada yang berbeda dari potongan-potongan umpan yang kami bawa. Warna darah ikan ini sudah tidak merah lagi, hiu yang asyik mencabik daging umpan ikan dikolom perairan membuat darah ikan itu menyebar, tapi bukannya berwarna merah. Warna hijau terlihat menyebar dari daging ikan itu dan larut bersama air laut.
Ternyata semakin dalam kita menyelam, semakin sedikit sinar matahari yang bisa masuk ke dalam badan air dan beberapa warna mulai tidak terlihat, sampai akhirnya hanya ada warna hijau dan biru atau akhirnya gelap total. Wuww.

Puas bermain dengan hiu, dan sebagai akhir dari penyelaman kami di Blacktip Point, Saya dan teman-teman satu grup (ko Andi, Jacob dan Simca) berenang sedikit untuk menikmati pemandangan karang yang hidup di dasar perairan Pulau Matita. What a great experience !